MAKALAH
ILMU SOSIAL DAN BUDAYA DASAR
“MERAJUT KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DALAM
MENGANGKAT SOSIAL BUDAYA”

DISUSUN OLEH :
CHOIRIMA SITI CHOTIJAH
NIM BBA 110 004
DOSEN
PENGASUH
Drs. H.
AINI BADERI, SH, MH
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN
TAHUN 2011
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan bimbingan-Nya sehingga Makalah ISBD “Merajut Kerukunan
Antar Umat Beragama Dalam Mengangkat Sosial Budaya” ini dapat
terwujud. Penyusun menyadari
sepenuhnya bahwa tanpa rahmat, hidayah dan bimbingan-Nya, tugas mulia ini tentu
tidak dapat diselesaikan dengan baik.
Atas terselesainya penyusunan
makalah ini, tidak lupa penyusun menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini, baik bantuan moril maupun materil. Semoga apa yang telah diberikan
mendapat ganjaran yang setimpal dari Tuhan YME.
Penyusun telah berusaha sekuat tenaga dan pikiran dalam
menyusun makalah ini. Namun demikian tentunya masih banyak kekurangan-kekurangannya.
Untuk itu penyusun mengharapkan
kritik-kritik dan saran-saran yang membangun dari semua pihak demi penyempurnaan isi buku untuk masa
yang akan datang.
Akhir kata,
semoga makalah sederhana ini mampu memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dalam
upaya kita turut serta membangun bangsa melalui dunia pendidikan serta dapat
bermanfaat bagi para pembacanya.
Palangka Raya,
Mei 2011
Penyusun,
Choirima
S.C
|
DAFTAR
ISI
·
KATA
PENGANTAR……………………………………………………...
ix
·
DAFTAR
ISI……………………………………………………………….
x
BAB
I..... PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang………………………………………………… 1
1.2.Rumusan
Masalah……………………………………………… 1
1.3.Tujuan
penulisan……………………………………………….. 1
BAB
II .. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian kerukunan antar umat
beragama…………………….. 2
2.2. Pengertian kerukunan umat
beragama menurut islam…………… 3
2.3.
Pengertian kerukunan umat beragama dalam kehidupan sosial….. 4
2.4.
Manusia adalah makhluk sosial…………………………………… 5
2.5.
Manusia adalah sebagai makhluk beragama……………………… 5
2.6.
Pentingnya hidup dalam kerukunan umat beragama…………….. 6
2.7.
Dialog pada masyarakat majemuk………………………………… 7
2.8. Manfaat
kerukunan antar umat beragama................................ ….. 12
BAB
III PENUTUP
3.1.Kesimpulan............................................................................ 14
3.2.Saran...................................................................................... 14
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................. 15
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Kerukunan antar umat beragama di
tengah keanekaragaman sosial dan budaya merupakan aset dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam perjalanan sejarah bangsa,
Pancasila telah teruji sebagai alternatif yang paling tepat untuk mempersatukan
masyarakat Indonesia yang sangat majemuk di bawah suatu tatanan yang inklusif
dan demokratis. Sayangnya wacana mengenai Pancasila seolah lenyap seiring
dengan berlangsungnya reformasi.
Berbagai macam kendala yang sering
kita hadapi dalam mensukseskan kerukunan antar umat beragama di Indonesia, dari
luar maupun dalam negeri kita sendiri. Namun dengan kendala tersebut warga
Indonesia selalu optimis, bahwa dengan banyaknya agama yang ada di Indonesia,
maka banyak pula solusi untuk menghadapi kendala-kendala tersebut. Dari
berbagai pihak telah sepakat untuk mencapai tujuan kerukunan antar umat
beragama di Indonesia seperti masyarakat dari berbagai golongan, pemerintah,
dan organisasi-organisasi agama yang banyak berperan aktif dalam masyarakat.
Keharmonisan dalam komunikasi antar sesama penganut agama adalah tujuan dari
kerukunan beragama, agar terciptakan masyarakat yang bebas dari ancaman,
kekerasan hingga konflik agama.
1.2. RUMUSAN
MASALAH
1.
Kendala apa yang menjadi permasalahan dalam merajut
kerukunan antar umat beragama di
Indonesia khususnya dalam mengangkat sosial budaya?
2.
Bagaimana masyarakat menghadapi permasalahan/kendala
dalam mencapai kerukunan antar umat beragama di Indonesia?
1.3.TUJUAN PENULISAN
Penulisan
makalah ini bermaksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar
dan untuk menambah wawasan para pembaca tentang Merajut kerukunan antar umat
beragama di Indonesia serta permasalahan yang di hadapi. Semoga Bermanfaat.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. PENGERTIAN KERUKUNAN ANTAR UMAT
BERAGAMA
Kerukunan
umat beragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan
toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam
kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat
dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam
memelihara kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan
pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus memperhatikan
pertimbangan Ormas keagamaan yang berbadan hukum dan telah terdaftar di
pemerintah daerah.
Pemeliharaan
kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara pusat
merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerintah lainnya.
Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan
umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instansi vertikal, menumbuh kembangkan
keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara
umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah.
Sesuai
dengan tingkatannya Forum Kerukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan
Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif dengan tugas melakukan
dialog dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi Ormas
keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk
rekomendasi sebagai bahan kebijakan.
Sesuai
dengan tingkatannya Forum Kerukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan
Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif dengan tugas melakukan
dialog dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi Ormas
keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk
rekomendasi sebagai bahan kebijakan.
Sejak
dulu di Negara Indonesia, hukum Islam memegang peranan yang sangat penting
dalam pembentukan hukum di Indonesia selain hukum Belanda yang berlaku saat
ini. Setelah Indonesia berusia 60 tahun dan telah mengalami enam kali
pergantian Presiden, hukum Islam tetap di pakai dibeberapa bidang hukumdisamping
hukum Belanda tentunya. Seperti yang kita ketahui tentunya, gelombang reformasi
yang menyapu seluruh kawasan Indonesia sejak kejatuhan Soeharto banyak memunculkan
kembali lembaran sejarah masa lalu Indonesia. Salah satunya yang hingga hari
ini menjadi sorotan adalah tuntutan untuk kembali kepada syari’at Islam, atau
hukum Islam yang kemudian mengundang beragam kontroversi di Indonesia. Kalau
kita lihat lembaran sejarah Indonesia, salah satu faktor pemicunya adalah
tuntutan untuk mengembalikan tujuh kata bersejarah yang tadinya terdapat dalam
pembukaan atau mukadimmah konstitusi Indonesia yang dirumuskan oleh para
pendiri Indonesia.
Nilai
moral agama bagi bangsa Indonesia adalah segala sesuatu atau ketentuan yang
mengandung petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidupnya menurut moral
agama. Contohnya petunjuk dan pedoman bagi manusia dalam hidup bermasyarakat
dan bernegara. Sebagai bangsa yang mempunyai multi agama, keaneragaman perilaku
dan adat istiadat membuat masyarakat Indonesia mempunyai watak yang dipengaruhi
oleh agama yang mereka anut. Sikap toleransi terus tumbuh dan berkembang dalam
jiwa dan perilaku sehari-hari. Adanya kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan ajaran masing-masing, adalah bukti dan kenyataan yang ada dalam
masyarakat.
Mempelajari
dan mendalami nilai moral agama dan kerukunan antar umat beragama merupakan
kewajiban setiap pemeluk agama baik laki-laki maupun perempuan, Agar dalam
kehidupan dapat melaksanakan perannya sebagai manusia. Oleh karena itu,
manusia dalam hidupnya harus selalu
berusaha untuk menjadikan seluruh hidupnya sebagai wujud ibadah kepada Tuhan
YME. Ibadah dalam arti pengabdian yang bertujuan mencari ridho Allah SWT akan
dapat dilaksanakan secara baik dan benar apabila didasari dengan pengetahuan
agama, agar tercipta juga kerukunan antar umat beragama di Negara Indonesia.
2.2. PENGERTIAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA MENURUT ISLAM
Kerukunan
umat beragama dalam Islam yakni Ukhuwah Islamiah. Ukhuah Islamiah berasl dari
kata dasar “Akhu” yang berarti saudara, teman, sahabat, Kata “Ukhuwah” sebagai
kata jadian dan mempunyai pengertian atau menjadi kata benda abstrak
persaudaraan, persahabatan, dan dapat pula berarti pergaulan. Sedangkan
Islaiyah berasal dari kata Islam yang dalam hal ini menjadi atau memberi sifat
Ukhuwah, sehingga jika dipadukan antara kata Ukhuwah dan Islamiyah akan berarti
persaudaraan Islam atau pergaulan menurut Islam.
Dapat
dikatakan bahwa pengertian Ukhuah Islamiyah adalah gambaran tentang hubungan
antara orang-orang Islam sebagai satu persaudaraan, dimana antara yang satu
dengan yang lain seakan akan berada dalam satu ikatan. Ada hadits yang
mengatakan bahwa hubungan persahabatan antara sesama Islam dalam menjamin
Ukhuwah Islamuah yang berarti bahwa antara umat Islam itu laksana satu tubuh,
apabila sakit salah satu anggota badan itu, maka seluruh badan akan merasakan
sakitnya. Dikatakan juga bahwa umat muslim itu bagaikan sutu bangunan yang
saling menunjang satu sama lain.
Pelaksanaan
Ukhuwah Islamiyah menjadi actual, bila dihubungkan dengan masalah solidaritas
sosial. Bagi umat Islam, Ukhuwah Islamiyah adalah suatu yang masyru’ artinya
diperintahkan oleh agama. Kata persatuan, kesatuan, dan solidaritas akan terasa
lebih tinggi bobotnya bila disebut dengan Ukhuwah. Apabila bila kata Ukhuwah
dirangkaikan dengan kata Islamiyah, maka ia akan menggambarkan satu bentuk
dasar yakni Persaudaraan Islam merupakan potensi yang obyektif.
Ibadah seperti zakat, sedekah, dan
lain-lain mempunyai hubungan konseptual dengan cita ukhuwah Islamiyah. Ukhuwah
islamiyah itu sendiri bukanlah tujuan, Ukhuwah Islamiyah adalah kesatuan yang
menjelmakan kerukunan hidup umat dan bangsa, juga untuk kemajuan agama, Negara,
dan kemanusiaan. “Janganlah bermusuh- musuhan, maka Allah menjinakan antara
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara.Selain
itu ada juga (QS. Ali Imran: 103) yang Artinya:
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai dan
berselisih sesudah dating keterangan yang jelas kepada mereka.
Mereka itulah orang0orang yang mendapat siksa yang berat.
(QS. Ali Imran 105).
2.3.
PENGERTIAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Hidup
bermasyarakat berarti hidup berdampingan dengan orang lain. Dan hidup
berdampingan dengan orang lain ini berarti harus mau menerima setiap kondisi
yang terjadi diantara semua orang, termasuk dalam hal ini perbedaan agama. Oleh
karena itu kita harus mempunyai pengertian kerukunan umat beragama dalam
kehidupan bermasyarakat kita. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa
orang-orang disekitar kita, mungkin mempunyai agama yang berbeda-beda.
Untuk
meningkatkan pengertian kerukunan umat beragama ini, maka setidaknya kita harus
menanamkan sikap saling menghormati sesame manusia. Hal ini merupakan dasar
dari kondisi kehidupan. Jika kita mapu meningkatkan sikap saling menghormati,
maka setidaknya kita dapat melakukan proses komunikasi antar personal
sebaik-baiknya.
Pengertian
kerukunan umat beragama adalah pemahaman atas konsep hidup bersama tanpa ada
sengketa yang menyebabkan perpecahan ataupun persengketaan diantara umat
beragama. Dengan pemahaman yang jelas, maka jika kita menerapkan hidup rukun
dalam interaksi umat beragama, maka tidak akan kita jumpaiatau alami sikap
ataupun kondisi negative dengan alasan agama.
2.4.
MANUSIA ADALAH MAKHLUK SOSIAL
Manusia
itu makhluk sosial, yaitu makhluk yang didalam menjalani dan menjalankan
kehidupannya selalu membutuhkan keberadaan orang lain, makhluk lain. Dengan
adanya makhluk lain inilah, maka keberadaan kita diakui oleh masyarakat. Oleh
karena itulah, maka kita dituntut untuk dapat menerapkan konsep interaksi dan
komunikasi terbaik dengan makhluk lainnya, dalam hal ini dengan manusia
lainnya.
Kita
ini ada, karena ada orang lain disekitar kita. Jika tidak ada orang lain
disekitar kita, maka sebenarnya kita ini tidak ada sama sekali. Apalah artinya
keberadaan kita jika orang lain tidak ada disekitar kita ? begitulah urgensinya
kita sebagai makhluk sosial.
Karena
kita tergantung pada orang lain, maka setidaknya hal yang perlu kita terapkan
agar interaksi kita terjadi baik adalah dengan menciptakan suatu kondisi
terbaik. Kondisi terbaik yang kita maksudkan dalam hal ini tidak lain adalah
kerukunan antar pribadi, termasuk dalam hal ini hidup beragama. Dengan cara
seperti ini, maka tittle kita sebagai makhluk sosial benar-benar terwujudkan.
2.5.
MANUSIA ADALAH SEBAGAI MAKHLUK BERAGAMA
Manusia
juga sebagai makhluk beragama, yaitu makhluk yang mempunyai tingkat kepercayaan
terhadap sesuatu yang diyakini dengan sepenuh hati dan diwujudkan dalam setiap
kegiatan hidupnya. Dengan agama yang dianutnya, maka manusia dapat melakukan
berbagai kegiatan hidup.
Dengan
demikian, maka seharusnya pengertian kerukunan umat beragama merupakan bagian
integral dari diri kita untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Dengan
kerukunan antar umat beragama, setidaknya kita dapat menghilangkan, setidaknya
mengurangi friksi yang seringkali muncul terkait dengan kepercayaan dan keimanan
kita.
Sebagai
makhluk beragama, manusia menyadari bahwa hidup dan kehidupan diciptakan Tuhan
agar kita saling berinteraksi dengan makhluk lainnya. Hal ini merupakan wujud
untuk menjaga kelestarian hidup dan kehidupan. Interksi antar makhluk ini
merupakan bukti bahwa kita bukanlah makhuk individual.
Dengan
konsep hidup sebagai integral kehidupan, yaitu segala takdir Tuhan untuk kita,
maka kesadaran untuk saling menjaga kondisi kehidupan merupakan satu bentuk
kewajiban dan tanggungjawab terhadap Sang Pencipta. Kita mempercayai bahwa
kehidupan ini ada yang menciptakan dan menjaganya dari kepunahan dan
seterusnya. Manusia sebagai makhluk sosial berkewajiban juga untuk menjaga agar
keberadaannya tetap langgeng dan terjaga.
2.6.
PENTINGNYA HIDUP DALAM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA
Agama
adalah tuntunan hidup yang kita terima sebagai sebuah kepastian hidup. Dogma
tidak berbantah dan harus diterapkan agar kehidupan kita menjadi lebih baik.
Dengan beragama, maka kehidupan kita menjadi lebih nyaman dan terarah serta
teratur. Tidak ada lagi tindakan-tindakan anarkis yang mengatasnamakan
kemanusiaan.
Dengan
agama, maka kita jadi mengetahui segala hal yang baik, begitu juga segala hal
yang buruk bagi kehidupan kita dan masyarakat kita. Kehidupan kita menjadi
lebih baik sebab banyak tuntunan yang kita dapatkan dan banyak larangan yang
menjadikan kita mengetahui apa yang harus dikerjakan dan yang tidak harus
dikerjakan.
Termasuk
dalam hal ini adalah penciptaan kondisi hidup penuh kerukunan antar umat
beragam. Kita harus dapat menciptakan hidup dan kehidupan yang penuh kerukunan
agar nyaman dan tidak terjebak dalam sifat yang sempit terkait dengan
kepercayaan kita. Kita harus menciptakan kerukunan umat beragama dalam
kehidupan kita sehingga masyarakat kita menjadi masyarakat yang tenang dan
aman.
Bahwa,
kerukunan umat beragama sangat menentukan kondisi kehidupan kita dimasyarakat.
Jika kita masing-masing memegang teguh kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat,
maka masyarakat akan menjadi satu komunitas terbaik dan mendukung peningkatan
eksisitensi diri. Masyarakat rukun adalah masyarakat yang memungkinkan
terjadinya atau terciptanya sebuah komunikasi antar personal sebaik-baiknya dan
menghindarkan berbagai keburukan yang mungkin dapat tercipta.
Jika
kita hidup aman dan nyaman dengan kerukunan umat beragama, mengapa kita harus
bersengketa untuk kondisi yang seperti itu? Kita sebagai makhluk sosial
mempunyai kesempatan yang luas untuk menciptakan kehidupan yang nyaman dan
aman, jika kehidupan beragama kita rukun. Lantas, mengapa masih ada
persengketaan dengan alasan agama?
2.7.
DIALOG PADA MASYARAKAT MAJEMUK
Pemerintah
bersama masyarakat sepakat menggunakan istilah kerukunan dengan konsep
kerukunan hidup beragama yang mencakup kerukunan intern beragama (kondisi rukun
dalam satu agama); kerukunan antarumat beragama (kondisi rukun antar umat agama
yang berbeda-beda agama); dan kerukunan antara (pemuka) umat beragama dalam
pemerintah (kondisi rukun dalam hubungan antarkelembagaan, Majelis-majelis
agama, dan Pemerintah; Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, atau
pejabat-pejabat lain).
Sudah
banyak kebijakan pemerintah mengatur pembinaan kerukunan hidup umat beragama;
baik mengenai kebijaksanaan penyiaran agama, pendidikan dan penggunaan rumah
ibadah, upacara hari besar keagamaan, hubungan antaragama dalam bidang
pendidikan, perkawinan, penguburan jenazah, dan wadah musyawarah antarumat
beragama. Bahkan Departemen Agama telah merumuskan kebijaksanaan dalam
pembinaan kerukunan hidup umat beragama, diantaranya melalui pemantapan kerukunan
umat beragama, langkah-langkah strategis, dan strategi pembinaan kerukunan umat
beragama.
Dialog
intern umat beragama merupakan bagian tidak terpisahkan dari trikerukunan
kehidupan umat beragama yang pada dasarnya merupakan upaya mempertemukan hati
dan pikiran dikalangan sesama penganut agama, baik sesama umat Islam maupun
dengan umat beragama lainnya dalam kerangka NKRI. Secara kasatmata pemimpin
agama berperan penting merancang dan melaksanakan dialog intern umat beragama,
antarumat beragama dan antara umat beragama dan pemerintah. Baik dari kalangan
pemuka agama Islam; ulama, cendekiawan muslim, mubaliq, dai, dan kiai maupun
pemimpin kelompok keagamaan dari kalangan penganut agama Kristen, Katolik,
Hindhu maupun Buddha.
Realitas
menunjukkan dalam kehidupan umat beragama terdapat beragam kelompok dan
komunitas keagamaan, baik dilihat dari aspek suku, budaya, pendidikan,
pengalaman, maupun orientasi keagamaan. Untuk itu perlu dialog dan bahkan kini
menjadi kebutuhan dalam upaya memahami, mengidentifikasi, menyosialisasikan
kebijakan, konsep, dan langkah-langkah kerukunan umat beragama dalam upaya
mendukung keberhasilan pembangunan pada era otonomi daerah.
Sebab,
dialog dapat difungsikan sebagai wahana komunikasi antar orang-orang yang
percaya pada tingkat yang relative sama. Dialog juga dapat dijadikan jalan
bersama untuk menjelaskan kebenaran atas dasar kejujuran dan kerjasama dalam
kegiatan sosial untuk kepentingan bersama membangun masyarakat madani.
Masyarakat
madani kini menjadi perbincangan actual, yang secara konseptual dapat
dirumuskan pembebasan manusia dari perangkap struktur kekuasaan yang terlembaga
melalui birokratisasi. Istilah madani menunjuk pada tata sosial yang bersumber
pada nilai-nilai keagamaan dan menjadi pararel dengan ide mengenai gerakan
Islamisasi birokrasi.
Kata
madani lebih tepat dilihat dari aspek yang berarti keberperadapan yang bebas
strukturalisme dan birokratisme. Dalam konteks ini berarti, pemahaman religious
seharusnya merupakan wacana sosiologi untuk menempatkan doktrin keagamaan
sebagai alasan pemuliaan manusia.
Atas
dasar itu, kualitas keimanan menjadi mutlak bersentuhan dengan HAM, keadilan
politik dan ekonomi serta kebebasan kreatif dan demokrasi sebagai nilai-nilai
universal kemanusiaan. Pemberdayaan Islam merupakan bagian tidak terpisahkan
dari upaya membangun harmoni sosial atas dasar kualitas keimanan merupakan
prasyarat kerukunan hidup umat beragama dan relevan dengan upaya menuju
masyarakat madani.
Jika
fenomena prilaku sosial dalam masyarakat masih menunjukkan pertentangan,
kerusuhan, dan konflik sosial, serta hegemoni yang berarti penguasaan atau
dominasi terhadap pihak lain terdapat diberbagai bidang kehidupan, jelas
masyarakat madani yang menjadi cita-cita dan harapan itu belum dapat terwujud.
Misalnya,
ketika pemerintahan Soeharto melakukan hemegomi penafsiran atas Pancasila,
dimana BP7 difungsikan sebagai lembaga indoktrinasi Pancasila versi pemerintah,
tentu berdampak pada bidang pembangunan lainnya. Termasuk juga pembangunan
agama terkesan lebih didominasi penguasa Negara atau pemerintah yang
mengatasnamakan kedaulatan rakyat. Dalam praktek pemerintahan, kebijakan
pemerintah dilakukan penguasa tanpa mendengarkan dan menyertakan aspirasi
rakyat. Bahkan kekuasaan Negara hamper sempurna masuk dan mengambil wilayah
public.
Dampaknya,
sosial control sulit dilakukan; sehingga KKN merajalela. Dari aspek perencanaan
pembangunan terindikasi lebih bersifat dari atas (Top-Down). Sedangkan dalam
pembangunan politik di pembangunan era reformasi terdapat perubahan kebijakan
pembangunan agama yang mengutamakan aspirasi dan kebutuhan konkret masyarakat
lapisan bawah dan daerah, meskipun kenyataannya masih diperlukan pemonitoran
dan evaluasi.
Fenomena
itu menunjukkan kesadaran dan pengamalan agama dalam kehidupan sehari-hari
saling terkait berbagai aspek kehidupan lainnya, baik aspek ideology, ekonomi,
konflik sosial, politik, pendidikan, kesehatan maupun keamanan; dan bahkan
beberapa tahun mendatang ini cenderung penuh dengan ketidakpastian dan
tantangan berat.
Banyak
peristiwa konflik sosial yang terkait dengan politik, ekonomi, dan budaya
sehingga memerlukan paradigma baru dalam penyelesaian konflik dan penguatan
ketahanan masyarakat local dan sekaligus menuntut adanya kemampuan retensi,
adaptasi dan kebijakan operasional yang tinggi baik dari kalngan umat beragama
maupun aparat pengelola pembangunan agama di daerah, sehingga dialog kerukunan
umat beragama makin penting diposisikan sebagai subsistem dalam kerangka
pembangunan daerah.
Misalnya,
pemberdayaan kelembagaan Islam, Kristen, Katolik, Hindhu dan Buddha untuk menngkatkan kualitas kerukunan
kehidupan umat beragama perlu diprogramkan terencana dan berkelanjutan, yang
diawali pendataan potensi konflik keagamaan, pelatihan penyuluhan agama untuk
penanganan daerah berpotensi konflik dan sosialisasi manajemen kelembagaan
agama yang difokuskan kepada memperkenalkan konsep dan kedudukan kerukunan umat
beragama dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa diberbagai daerah kabupaten
maupun kota.
Kemampuan
masyarakat dalam memberdayakan organisasi dan kelembagaan Islam, Kristen,
Katolik, Hindhu dan Buddha masih banyak dipengaruhi budaya tradisional,
terutama dikalangan masyarakat petani, nelayan, dan berbagai komunitas lapisan
bawah, dimana hal itu menunjukkan kondisi yang relative masih rendah.
Dampaknya, ketika terjadi perubahan sosial, ekonomi, politik, perkembangan ilmu,
pengetahuan dan teknologi yang demikian cepat dan makin canggih, mereka
mengalami shock budaya dan guncangan hebat, dimana nilai-nilai dan norma lama
ditinggalkan, sementara nilai-nilai pengganti yang bercorak modern belum
ditemukan. Misalnya, budaya gotong-royong (kolektivistik) bergeser menjadi
kerja dengan system upah yang setiap kegiatan diukur dengan uang (pamrih) dan
sikap individualistic.
Konflik
merupakan persoalan sosial yang kompleks dan rumit. Situasi yang melatari dan
menimbulkan konflik dalam masyarakat majemuk relative berbeda. Konflik terjadi
disebabkan adanya situasi ketidakselarasan kepentingan dan tujuan dalam
masyarakat. Perbedaan stuktur sosial, nilai sosial, suku budaya, kelangkaan
saluran aspirasi kompetisi, perubahan sosial merupakan sumber-sumber konflik
yang berpengaruh terhadap kerukunan umat beragama dalam masyarakat majemuk.
Dalam upaya memahami makna konflik dan integrasi pada masyarakat majemuk dapat
dikemukakan beberapa pemikiran.
1.
Pertama, persoalan pluralitas masyakat
tidak dapat dikatakan menjadi sumber konflik bagi umat beragama karena hal itu
sangat bergantung berbagai macam factor-faktor penyebab terjadinya konflik.
Integrasi relevan dengan kerukunan umat beragama dalam masyarakat plural.
Fakta
menjelaskan meskipun setiap agama mengajarkan tentang kedamaian dan keselarasan
hidup, realitas menunjukkan pluralisme agama bisaa memicu pemeluknya saling
benturan bahkan terjadi konflik. Sementara dipihak lain, integrasi sosial
kegamaan dapat membangun jika pemeluk agama mampu mengekspresikan kebenaran
agamanya secara universal dan inklusif, dalam arti subyektif kebenaran yang
ditakini tidak menafikan kebenaran yang diyakini penganut agama lain.
2.
Kedua, konflik yang pernah terjadi
diantaranya:
a. Konflik
antarumat beragama; pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama, yang lebih
berdasarkan kepentingan golongan atau kelompok.
b. Konflik
internal umat beragama; perbedaan paham terhadap ajaran agama dan penyimapangan
dari ajaran agama yang menimbulkan keresahan dimasyarakat ( aliran sempalan ).
c. Konflik
diluar kegamaan; perebutan tanah perkebunan, perkelahian dan pembunuhan
Bentuk-bentuk
konflik dan integrasi dalam interaksi sosial keagamaan sering berubah-ubah dari
bentuk asosiatif (rukun) kebentuk disosiatif (tidak rukun), dan bahkan secara relative
sering terjadi tumpang tindih diantara keduany. Selain itu, interaksi sosial
keagamaan baik intern umat beragama maupun antarumat beragama relative lebih
menunjukkan sifat integrative.
Hanya
masalah-masalah khilafiah yang sering muncul dikalangan intern umat beragama,
baik antarumat Islam sendiri maupun pada umat Kristen, Katolik, Hindhu dan
Buddha. Namun, hal itu tidak sampai memecah belah intern umat beragama.
3.
Ketiga, pengendalian konflik untuk
pembinaan kerukunan umat beragama telah dilakukan, diantaranya dialog antarumat
beragama, intern umat beragama dan antarumat beragama dan pemerintah. Dengan
pembinaan kerukunan itu, integrasi sosial terkondisi dan mendukung pembangunan
daerah, yang diawali peningkatan pemahaman ajaran agama secara utuh dan komprehensip
sejalan dengan dinamika masyarakat beragama. Paradigma pengendalian konflik
dipadukan dengan model penyelesaian partisipasif baik dari aspek politik ,
moral, agama, ekonomi, maupun sosial.
Jika
paradigma baru dirancang atas dasar kajian empiric (data;akurat dan analisis
konflik) dan dilakukan sebagai rasa tanggung jawab kolektif untuk menciptakan
kerukunan umat beragama guna memngangkat derajat manusia dengan dialog dapat
dibangun harmoni dalam kehidupan umat beragama maupun antar umat beragama dan
pemerintah.
Kerukunan antar umat beragama dapat
diwujudkan dengan;
1) Saling tenggang rasa, saling
menghargai, toleransi antar umat beragama
2) Beragama tidak memaksakan seseorang untuk
memeluk agama tertentu
3) Melaksanakan ibadah sesuai agamanya,
dan
4) Mematuhi peraturan keagamaan baik
dalam Agamanya maupun peraturan Negara atau Pemerintah.
Dengan
demikian akan dapat tercipta keamanan dan ketertiban antar umat beragama,
ketentraman dan kenyamanan di lingkungan masyarakat berbangsa dan bernegara.
2.8. MANFAAT
KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
Umat
Beragama Diharapkan Perkuat Kerukunan Jika agama dapat dikembangkan sebagai
faktor pemersatu maka ia akan memberikan stabilitas dan kemajuan negara
Menteri
Agama Muhammad Maftuh Basyuni berharap dialog antar-umat beragama dapat
memperkuat kerukunan beragama dan menjadikan agama sebagai faktor pemersatu
dalam kehidupan berbangsa.
"Sebab
jika agama dapat dikembangkan sebagai faktor pemersatu maka ia akan memberikan
sumbangan bagi stabilitas dan kemajuan suatu negara," katanya dalam
Pertemuan Besar Umat Beragama Indonesia untuk Mengantar NKRI di Jakarta, Rabu.
Pada
pertemuan yang dihadiri tokoh-tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Konghucu itu Maftuh menjelaskan, kerukunan umat beragama di Indonesia
pada dasarnya telah mengalami banyak kemajuan dalam beberapa dekade terakhir
namun beberapa persoalan, baik yang bersifat internal maupun antar-umat
beragama, hingga kini masih sering muncul.
Menurutnya,
kondisi yang demikian menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama tidak bersifat
imun melainkan terkait dan terpengaruh dinamika sosial yang terus berkembang.
"Karena itu upaya memelihara kerukunan harus dilakukan secara
komprehensif, terus-menerus, tidak boleh berhenti," katanya.
Dalam
hal ini, Maftuh menjelaskan, tokoh dan umat beragama dapat memberikan
kontribusi dengan berdialog secara jujur, berkolaborasi dan bersinergi untuk
menggalang kekuatan bersama guna mengatasi berbagai masalah sosial termasuk
kemiskinan dan kebodohan.
Ia
juga mengutip perspektif pemikiran Pendeta Viktor Tanja yang menyatakan bahwa
misi agama atau dakwah yang kini harus digalakkan adalah misi dengan tujuan
meningkatkan sumber daya insani bangsa, baik secara ilmu maupun karakter.
"Hal itu kemudian perlu dijadikan sebagai titik temu agenda bersama lintas
agama," katanya.
Mengelola
kemajemukan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf
Amin mengatakan masyarakat Indonesia memang majemuk dan
kemajemukan itu bisa menjadi ancaman serius bagi
integrasi bangsa jika tidak dikelola secara baik dan benar.
"Kemajemukan
adalah realita yang tak dapat dihindari namun itu bukan untuk dihapuskan. Supaya bisa menjadi pemersatu,
kemajemukan harus dikelola dengan baik dan benar,"
katanya. Ia menambahkan, untuk mengelola kemajemukan secara baik dan benar diperlukan dialog berkejujuran guna mengurai permasalahan yang
selama ini mengganjal di masing-masing kelompok
masyarakat.
"Karena mungkin masalah yang selama ini terjadi di antara
pemeluk agama terjadi karena
tidak sampainya informasi yang benar dari satu pihak ke pihak lain. Terputusnya jalinan informasi antar pemeluk agama dapat menimbulkan
prasangka- prasangka yang mengarah pada terbentuknya
penilaian negatif," katanya.
Senada dengan Ma'ruf, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Mgr.M.D
Situmorang, OFM. Cap mengatakan
dialog berkejujuran antar umat beragama merupakan salah satu cara untuk membangun persaudaraan antar- umat beragama.
Menurut dia, tema dialog antar-umat beragama sebaiknya bukan
mengarah pada masalah theologis,
ritus dan cara peribadatan setiap agama melainkan lebih ke masalah- masalah kemanusiaan. "Dalam hal kebangsaan, sebaiknya dialog
difokuskan ke moralitas, etika dan nilai spiritual,"
katanya.
Ia juga menambahkan, supaya efektif dialog antar-umat beragama mesti
"sepi" dari latar
belakang agama yang eksklusif dan kehendak untuk mendominasi pihak lain.
"Sebab untuk itu butuh relasi harmonis tanpa apriori,
ketakutan dan penilaian yang dimutlakkan. Yang harus
dibangun adalah persaudaraan yang saling menghargai tanpa kehendak untuk mendominasi dan eksklusif," katanya.
Menurut Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Budi S Tanuwibowo, agenda agama-agama ke depan sebaiknya difokuskan
untuk menjawab tiga persoalan besar yang selama ini
menjadi pangkal masalah internal dan eksternal umat beragama yakni rasa saling percaya, kesejahteraan bersama dan penciptaan rasa
aman bagi masyarakat. "Energi dan militansi agama
seyogyanya diarahkan untuk mewujudkan tiga hal mulia
itu," demikian Budi S Tanuwibowo.
BAB
III
PENUTUP
3.1.KESIMPULAN
Kerukunan umat beragama yaitu
hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan
ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.
3.2.SARAN
Dengan kerukunan antar umat
beragama, setidaknya kita dapat menghilangkan, setidaknya mengurangi friksi
yang seringkali muncul terkait dengan kepercayaan dan keimanan kita.
Menumbuh
kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan
menerbitkan rumah ibadah.
DAFTAR
PUSTAKA
didownload
pada hari Sabtu, 21 Mei 2011 Pukul 10:45 WIB
didownload
pada hari Minggu, 22 Mei 2011 Pukul 13:15 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar